New Template

Ads by Smowtion


Senin, 17 Januari 2011

Pembagian Hadits (kuat/lemahnya hadits)

Pembagian hadits dilihat dari sisi kuat dan lemahnya hadits
Pembagian hadits ahad dilihat dari sisi kuat dan lemahnya sebuah hadits terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Maqbul : sebuah hadits yang mempunyai indikasi kuat kejujuran orang yang membawa khabar tesebut
2. Mardud (tertolak) : sebuah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut.
Secara garis besar hadits maqbul terbagi menjadi dua, yaitu shahih dan hasan, dan masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi dua kelompok hadits, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi serta hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Hadits Shahih : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang kuat dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula memiliki illat.
Sanadnya bersambung adalah: bahwa setiap perawi mengambil hadits secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, kondisi seperti ini dari permulaan sanad sampai akhirnya.
Perawi yang adil adalah : bahwa semua perawinya mempuyai sifat ‘al ‘adalah,’ tidak fasik dan tidak mempunyai karakter yang tidak beretika.
Al ‘adalah adalah: Potensi (baik) yang dapat membawa pemilik-nya kepada takwa, dan (menyebabkannya mampu) menghindari hal-hal tercela dan se-gala hal yang dapat merusak nama baik dalam pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat-syarat: Islam, baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik.
Memiliki hafalan yang kuat adalah; bahwa setiap perawi mempunyai hafalan yang kuat, baik hafalan yang ada di dalam dada maupun hafalan yang menggunakan bantuan buku.
Tidak syadz artinya : bahwasanya hadits tersebut tidak syadz (nyeleneh/menyelisihi yang lebih kuat).
Tidak memiliki ‘illat artinya : hadits tersebut tidak cacat. Dan ‘Illat adalah Sebab yang samar yang terdapat di dalam hadits yang dapat merusak keshahihannya.
Shahih Lidzatihi : hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Shahih Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.
Ash-Shahihain : Dua kitab shahih yaitu: Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Asy-Syaikhain : Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Hadits Hasan : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-dhabt) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki illat.
Hasan Lidzatihi : hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Hasan Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if yang lain, maka dia menjadi hasan Lighairihi.
Sedangkan hadits yang tertolak adalah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut. Itu bisa terjadi karena ketiadaan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat sebuah hadits.
Sebab-sebab tertolaknya hadits itu ada banyak, tetapi secara garis besar bisa di klasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Gugur dari sanad
2. Terindikasi cacat atau tertuduh pada seorang perawi.
Secara keumumam semua itu disebut dengan hadits dla’if.
Hadits Dha’if : Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits maqbul (yang diterima dan dapat dijadikan hujjah), dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dla’if. Adapun pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama adalah bahwasanya dianjurkan mengamalkannya dalam hal fadlailul a’mal, akan tetapi harus memenuhi tiga syarat sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Hajar :
1. Dla’ifnya tidak parah
2. Menginduk di bawah ushul yang dapat dijadikan sebagai landasan amal
3. Ketika mengamalkannya tidak meyakini keotentikan hadits tersebut

Pembagian Khabar

Pembagian khabar ditinjau kepada orang yang disandarkan.
Khabar (hadits) terbagi 3 bila ditinjau kepada orang yang disandarkan :
Marfu ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terbagi menjadi 2: Marfu sharih dan Marfu hukum.
Marfu sharih ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung baik perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat atau khuluqnya penciptaannya (akhlaknya).
Contoh perkataan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang berbuat amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami maka ia tertolak.”
Contoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa apabila masuk rumahnya ia mulai dengan bersiwak (gosok gigi).”
Contoh penetapan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Taqrir beliau terhadap jawaban seorang budak perempuan ketika beliau bertanya dimana Allah? dia menjawab: Di langit. Lalu Rasulallah mentaqrirkan terhadap yang demikian. Dan yang termasuk ini juga seluruh perkataan atau perbuatan sahabat yang Rasulallah ketahui tapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam terhadapnya (tidak mengingkari) maka hukumnya marfu sharih dan termasuk taqrir.
Contoh sifat akhlaknya.
Adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling dermawan diantara manusia dan yang paling berani diantara manusia. Apa-apa yang beliau diminta beliau tidak pernah katakan jangan/tidak boleh dan beliau selalu berseri-seri, lembut perawakannya luwes dalam perkara jika ada dua pilihan melainkan beliau memiliki yang paling mudah kecuali kalau dosa maka beliaulah orang yang paling menjauhinya dibandingyang lain.

Contoh sifat dirinya:
Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang tidak tinggi dan tidak pendek (sedang) rambutnya sepundak, lebat menutupi dua telinganya, janggutnya rapih dan sedikit beruban.
Marfu hukum ialah: Sesuatu yang dihukumi marfu kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antaranya adalah:
  1. Perkataan shahabat apabila tidak bersumber dari pendapatnya (ra’yu) dan bukan tafsiran dan tidak dikenal sebagai orang yang mengambil cerita isra’iliyat.
    Contoh : Perkatan shahabat seperti khabar tentang tanda-tanda kiamat atau keadaan hari kiamat atau hari pembalasan(ini namanya marfu’ hukum).
    Jika bersumber dari pendapatnya (ra’yu) maka dinamakan mauquf. Dan jika berbentuk tafsir maka hukumnya sama dan tafsirnya dinamakan tafsir mauquf. Dan jika orangnya terkenal dengan seorang yang mengambil cerita isra’iliyat maka hukumnya tarraddud (saling bertolak belakang) antara khabar isra’iliyat atau hadits marfu’, maka tidak boleh diyakini sebagai hadits karena masih diragukan. Seperti Abadalah (orang yang namanya berawalan Abdul) seperti Abdullah bin Umar bin Khattab dan Abdullah bin Amru bin Al Ash, mereka adalah orang yang mengambil cerita-cerita isra’iliyat dari Ka’ab dan lainnya.
  2. Perbuatan shahabat apabila tidak bersumber dari pendapatnya, seperti shalat khusuf yang dilakukan Ali dengan ruku’ melebihi dari dua dalam satu raka’at.
  3. Sahabat menyandarkan sesuatu kepada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak disebutkan bahwasanya ia tahu hal itu seperti perkataan Asma’ binti Abu Bakar:
    “Kami pernah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah lalu kami memakannya”.
  4. Shahabat berkata tentang sesuatu bahwasanya itu termasuk Sunnah seperti perkataan Ibnu mas’ud
    “Termasuk sunnah tasyahhud dipelankan, maksudnya dalam shalat” .

    Jika tabi’in yang berkata maka bisa marfu’ bisa mauquf, seperti perkataan Ubaidillah bin Abdullah bin Atabah bin Mas’ud.
    “Yang sunnah, Imam berkhutbah pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha dua kali yang ia selingi dengan duduk”.
  5. Perkataan shahabat, seperti:
    “kami diperitahkan atau kami dilarang atau manusia diperintahkan atau yang semisalnya”
    seperti perkataan Ummu ‘Athiyah:
    “Kami diperintahkan agar kami mengajak keluar para perawan pada waktu shalat iedul fitri dan iedul adha”.
    Dan perkataannya:
    Kami dilarang (para wanita) mengiringi jenazah tetapi tidak dikeraskan larangannya terhadap kami.
    Dan perkataan Ibnu Abbas:
    Manusia diperintahkan agar mengakhiri waktu haji mereka di ka’bah.
    Dan perkatan Anas:
    Kami diberikan batas waktu mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan bulu kemaluan tidak lebih dari 40 malam.
  6. Shahabat menghukumi terhadap sesuatu bahwasanya itu maksiat seperti perkataan Abu Hurairah tentang orang yang keluar masjid setelah adzan:
    “Adapun orang ini telah mendurhaki Abul Qosim ( Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.
    Begitu pula kalau shahabat menghukumi terhadap sesuatu bahwasanya itu termasuk ketaatan atau mengatakan sesuatu itu bukan maksiat atau ketaatan karena yang demikian tidak mungkin dikatakan shahabat melainkan mereka mengetahui nashnya dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  7. Perkataan mereka (shahabat) dari shahabat dengan dimarfukan haditsnya atau riwayatnya seperti perkataan Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata:
    “Obat itu ada dalam tiga: Minum madu, jarum bekam dan besi panas (dibakar) dan umatku dilarang dengan besi panas”
    Dan perkataan Sa’id bin al Musayyab dari Abu Hurairah :
    “Fitrah itu lima atau lima dari fitrah: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong rambut dan mencukur kumis”.
    Dan begitu pula perkataan mereka dari shahabat dengan cara penyampaian hadits atau menerima hadits atau menyandarkan kepadanya dan yang sepertinya karena semua ibarat ini termasuk hukum marfu’ sharih walaupun tidak secara langsung dalam penyandaran kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ada dugaan itu dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mauquf ialah : Hadits yang disandarkan kepada shahabat tetapi tidak ditetapkan baginya hukum marfu’.
Seperti perkatan Umar bin khatthab:

Islam hancur karena tergelincirnya seorang yang alim, jidalnya orang munafik dengan Al-Quran dan hukum para imam-imam yang sesat.
Maqthu’ ialah: Perkataan yang disandarkan kepada tabi’in dan orang yang setelahnya (tabiut tabiin).
Seperti perkataan Ibnu Sirin:

Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama, maka lihatlah darimana kamu mengambil dien (sanad) mu ini.
Dan perkataan Malik:
Tinggalkanlah amalan-amalan yang tidak nampak selama tidak baik untukmu agar engkau kerjakan secara nampak.

Silahkan baca juga

Istilah-istilah dalam Jarhu wa Ta’dil

0 komentar:

Posting Komentar